
Ketika aku 'sowan' (datang menjenguk) ke Ibu beberapa hari yang lalu sama 'si Kakak' sepanjang jalan pulang aku berfikir tentangnya.
Tak terasa kini Beliau sudah 82 tahun, hampir 45 tahun dia temani aku
Tak terasa kini Beliau sudah 82 tahun, hampir 45 tahun dia temani aku
Rumah yang ga' seberapa besar ini, kini kian lengang dan berdebu, karena anak-anaknya sudah pada tinggalkan rumah untuk mencari kehidupannya masing-masing, termasuk aku,
Ga' lagi rame kayak dulu saat kita ber 6 masih kumpul kadang juga ribut.
Bayang dan kenangan itu berkelebat begitu utuhnya,
Dimana saat dulu Beliau masih begitu sehatnya, penuh semangat ajarkan kepada kami akan sebuah bentuk kemandirian, disiplin dengan waktu dan selalu tegur kami bila alpa terhadap hal yang sudah terjadwal, entah itu sholat (walo beliau beragama lain), puasa, jadwal main, belajar, hingga tugas-tugas rumah yang sudah menjadi kewajiban masing-masing anak.
Bleesssshh.....!!! semuanya kini hanya kenangan.
seperti foto-foto di dinding itu.
Nantipun bila masanya tiba, aku juga pasti seperti Ibu
Ups, mendadak kangen sama Istriku yang kebetulan ga' ikut temani aku dan kakak. Tau kenapa.
Tentang Ibu,
Untuk jalan saja sudah mulai susah, rambut beliaupun sudah mulai rata dengan uban, dan menipis, tangannya pun sudah mulai gemetar, rapuh saat memegang sesuatu.
Waktu ini begitu cepat merubah semuanya, begitu tak terasa.
Sama si Kakak, aku dipanggil untuk diajak bicara tentang kemungkinan hari akhir beliau ditepian ranjang tua ini (bapak sudah lama almarhum saat kita-kita masih kecil).
Duuuh...jujur aku ga' siap dengan keadaan ini,
Dengan lembutnya Beliau berpesan ini dan itu, begitu detailnya satu persatu dan minta ini agar diingat benar dan diharapkan aku dapat menyampaikan kepada saudara-saudaraku nantinya : "satrio kutitipkan itu semua padamu dan aturlah dengan adil, karena hanya dirimu lah yang bisa bijak untuk hal yang peka ini".
Sementara si Kakak tentu heran perubahan sikapku, tapi sungguh bijak dia lebih memilih diam dan tak satupun keluar pertanyaan darinya.
Hm...
Tak terasa aku hela nafas dalam-dalam, moga saat itu Ibu ga' denger kuatnya tarikan nafasku
Tak terasa mata ini sudah mulai buram karena ada air mata disana (cengeng ya...).
untungnya malem hari juga sinar temaram lampu kamar beliau.
Perasaan dan fikirku begitu ga keruan
Rasanya aku lebih siap hadapi 10 orang yang marah dibanding dengan 1 orang seperti Ibu saat ini.
Aku hanya bisa diam dan sesekali menatap beliau, sementara beliau tangkupkan jemari tangannya yang kian keriput. Sinar mata itu masih jernih dan lembut menatap seperti dulu, tapi kali ini beda begitu kuat menghujam diantara rasa tidak tegaku serta banyak berkecamuk lainnya.
Begitu selesai breffing itu, dalam diam, telah terjadwalkan untuk bisa selalu temani hari-hari Ibu bila aku dapat libur kerja. ...
Ibu banyak berpesan tentang bagaimana mendidik anak-anak nantinya, dan sesekali Ibu bercerita tentang kesepian beliau serta sedikit cerita tentang salah satu adiku (dia putri) yang mengecewakan beliau, Ibu hanya bilang ;" ternyata benar 'kasih Ibu sepanjang jalan sedang kasih anak sepenggal kata' " spontan aku merasa bersalah karena tak bisa mendidik dia dengan baik, 'maafkan dia ya Bu...'
Kucoba tengok kanan dan kiri, rumah ini memang benar-benar sepi, karena tak satupun ada anak atau pembantu disana untuk temani Ibu, rasanya nyari orang belakang (pembantu) sulit bener , walo kita sudah siapkan anggaran yang agak besar untuk itu, terlebih lagi Ibu memang tidak berkeinginan untuk gabung dengan anak-anaknya dengan alasan senderhana : Ibu merasa lebih nyaman tinggal disini, dan biarlah dekat dengan almarhum ayahmu (upss...bentuk cinta yang abadi).
Satu-satunya jalan yang bisa kulakukan adalah secara berkala phone beliau serta titipkan kepada tetangga untuk sesekali mau melihat keberadaan Ibu.
Kepada temen-temen blogger, bila mungkin ada saran buatku terimakasih banyak, moga itu bisa redakan kekhawatiran yang ada atas Beliau.
Ga' lagi rame kayak dulu saat kita ber 6 masih kumpul kadang juga ribut.
Bayang dan kenangan itu berkelebat begitu utuhnya,
Dimana saat dulu Beliau masih begitu sehatnya, penuh semangat ajarkan kepada kami akan sebuah bentuk kemandirian, disiplin dengan waktu dan selalu tegur kami bila alpa terhadap hal yang sudah terjadwal, entah itu sholat (walo beliau beragama lain), puasa, jadwal main, belajar, hingga tugas-tugas rumah yang sudah menjadi kewajiban masing-masing anak.
Bleesssshh.....!!! semuanya kini hanya kenangan.
seperti foto-foto di dinding itu.
Nantipun bila masanya tiba, aku juga pasti seperti Ibu
Ups, mendadak kangen sama Istriku yang kebetulan ga' ikut temani aku dan kakak. Tau kenapa.
Tentang Ibu,
Untuk jalan saja sudah mulai susah, rambut beliaupun sudah mulai rata dengan uban, dan menipis, tangannya pun sudah mulai gemetar, rapuh saat memegang sesuatu.
Waktu ini begitu cepat merubah semuanya, begitu tak terasa.
Sama si Kakak, aku dipanggil untuk diajak bicara tentang kemungkinan hari akhir beliau ditepian ranjang tua ini (bapak sudah lama almarhum saat kita-kita masih kecil).
Duuuh...jujur aku ga' siap dengan keadaan ini,
Dengan lembutnya Beliau berpesan ini dan itu, begitu detailnya satu persatu dan minta ini agar diingat benar dan diharapkan aku dapat menyampaikan kepada saudara-saudaraku nantinya : "satrio kutitipkan itu semua padamu dan aturlah dengan adil, karena hanya dirimu lah yang bisa bijak untuk hal yang peka ini".
Sementara si Kakak tentu heran perubahan sikapku, tapi sungguh bijak dia lebih memilih diam dan tak satupun keluar pertanyaan darinya.
Hm...
Tak terasa aku hela nafas dalam-dalam, moga saat itu Ibu ga' denger kuatnya tarikan nafasku
Tak terasa mata ini sudah mulai buram karena ada air mata disana (cengeng ya...).
untungnya malem hari juga sinar temaram lampu kamar beliau.
Perasaan dan fikirku begitu ga keruan
Rasanya aku lebih siap hadapi 10 orang yang marah dibanding dengan 1 orang seperti Ibu saat ini.
Aku hanya bisa diam dan sesekali menatap beliau, sementara beliau tangkupkan jemari tangannya yang kian keriput. Sinar mata itu masih jernih dan lembut menatap seperti dulu, tapi kali ini beda begitu kuat menghujam diantara rasa tidak tegaku serta banyak berkecamuk lainnya.
Begitu selesai breffing itu, dalam diam, telah terjadwalkan untuk bisa selalu temani hari-hari Ibu bila aku dapat libur kerja. ...
Ibu banyak berpesan tentang bagaimana mendidik anak-anak nantinya, dan sesekali Ibu bercerita tentang kesepian beliau serta sedikit cerita tentang salah satu adiku (dia putri) yang mengecewakan beliau, Ibu hanya bilang ;" ternyata benar 'kasih Ibu sepanjang jalan sedang kasih anak sepenggal kata' " spontan aku merasa bersalah karena tak bisa mendidik dia dengan baik, 'maafkan dia ya Bu...'
Kucoba tengok kanan dan kiri, rumah ini memang benar-benar sepi, karena tak satupun ada anak atau pembantu disana untuk temani Ibu, rasanya nyari orang belakang (pembantu) sulit bener , walo kita sudah siapkan anggaran yang agak besar untuk itu, terlebih lagi Ibu memang tidak berkeinginan untuk gabung dengan anak-anaknya dengan alasan senderhana : Ibu merasa lebih nyaman tinggal disini, dan biarlah dekat dengan almarhum ayahmu (upss...bentuk cinta yang abadi).
Satu-satunya jalan yang bisa kulakukan adalah secara berkala phone beliau serta titipkan kepada tetangga untuk sesekali mau melihat keberadaan Ibu.
Kepada temen-temen blogger, bila mungkin ada saran buatku terimakasih banyak, moga itu bisa redakan kekhawatiran yang ada atas Beliau.

Salam - Satrio